The Amazingly Amazing race

Antara Sadar dan tidak sadar,
Antara percaya dan tidak percaya,

Setelah kurang lebih 21 bulan air mata dan keringat, berusaha berjuang di kawah candra dimuka ini, akhirnya jumat sampai selasa lalu (27 april-1 mei 2018) kami, seluruh angkatan 8, mengikuti Indonesia Youth Contributor Summit sebagai acara penutup dari rangkaian pembinaan kami. Pada hari sabtu 28 April 2018, kami resmi diwisuda dan berubah status dari peserta menjadi alumni rumah kepemimpinan.

Senang? Pastinya. Menjadi alumni berarti kami akan dipertemukan dengan orang-orang hebat seluruh Indonesia dengan kontribusinya masing-masing, namun memiliki idealisme yang sama, yaitu idealisme kami.

Tapi bukan menjadi alumni yang menjadi poin utamanya. Dalam rangkaian IYCS kemarin, saya mendapat pelajaran begitu berharga tentang bagaimana institusi ini bertahan selama kurang lebih 15 tahun. Salah satu rangkaiannya adalah Amazing Race. Sebenarnya di Ksatiara, amazing race bukan sesuatu yang istimewa, karena kami sudah pernah menjalaninya 2 kali. Namun, tantangan dalam amazing race selalu mempunyai kesan tersendiri bagi kami.

Salah satu tantangan yang harus kami jalani kemarin adalah untuk melakukan campaign kepada penumpang KRL yang kami tumpangi dari stasiun UI sampai Stasiun Bogor tentang pentingnya Zakat, infaq, shadaqah, dan waqaf terutama lewat Rumah Kepemimpinan. Dengan kata lain, kami harus mempromosikan dan mengenalkan institusi kami kepada masyarakat luas. Menurut saya tantangan terbesarnya adalah, bagaimana melakukan upaya campaign di tempat umum tanpa terlihat seperti mba-mba sales yang menawarkan barang. Kami harus sangat berhati-hati dalam memilih kata, menentukan alur campaign, karena salah sedikit, nama institusi kami yang tercoreng.

Tantangan berikutnya adalah untuk melakukan fundraising dengan bermodal 10 ribu yang kami dapat dari menukarkan kartu THB. 10 ribu itu pun sudah termasuk ongkos 9 ribu, sehingga bersihnya, kami hanya bermodalkan 1000 rupiah per orang untuk melakukan fundraising yang target keuntunganya sebesar 20 ribu rupiah. Sejujurnya, saya tidak pernah melakukan hal se-instan ini sebelumnya. Kami hanya memiliki waktu kurang lebih 2 jam untuk mencari uang agar bisa sampai lokasi camp tepat waktu. Akhirnya, kelompok kami memutuskan untuk patungan dan membeli masker seharga 1000 rupiah/masker yang kemudian akan dijual lagi dengan azas donasi. Jadi, kami menawarkan masker yang kami punya ke orang-orang di sekitar stasiun Bogor sekaligus mengajak orang-orang berdonasi untuk institusi kami.

Tidak sekali dua kali kami ditolak, diacuhkan, bahkan diusir satpam karena dianggap mengganggu ketengan khalayak umum. Tapi Qadarullah, ada saja orang-orang baik yang ikhlas menyisihkan uangnya untuk membeli masker kami. Bahkan ada yang membeli masker kami dengan harga 50 ribu, masyaAllah.

Sejak paruh pertama kami menyadari bahwa institusi kami belum memiliki sistem pendanaan yang steady. Kami mengerti bagaimana sebuah NGO mencari dana untuk program-programnya, yaitu dengan menjual gagasan. Lewat tantangan ini, saya semakin mengerti, bagaimana susahnya petinggi-petinggi institusi ini untuk menghidupi kami, memberikan kami uang pembinaan yang cukup, memberikan kami fasilitas yang memadai. Saya sadar, bahwa ungkapan kalau institusi ini dibangun dengan keringat, air mata, dan darah, tidaklah berlebihan.

Sebagai alumni, sekarang saatnya saya untuk membalas segala manfaat yang telah RK lakukan. Saya mengerti, ini tak mudah. Namun, tidak dipungkiri RK sudah memberikan banyak sekali pelajaran hidup yang tidak bisa saya dapatkan dimanapun. Saudara, ilmu, kompetensi, relasi, dan-lain-lain.

27 hari lagi sebelum saya benar-benar hengkang dari asrama Tiara.
Semoga kami dapat mengisi sisa-sisa hari kami disini sebaik-baiknya.

Comments

Popular Posts